[Novel] GCCEO - 15 - Warisan
Ashta District 8 - Jakarta Selatan
"Yo, kapan mau ke kantor? Prita nanyain tuh. Lagi sibuk banget ya?" Lola nyerocos sambil menarik kursi untuk duduk.
"Gimana kabar Prita?" tanya Rio yang sore menjelang malam ini janjian sama Lola di Cafe Kitsune. Mereka duduk di bagian teras, menikmati segarnya udara sore.
"Masih mondar-mandir ke rumah sakit, Yo," sahut Lola.
"Aku prihatin sih sama keadaan dia sekarang. Tapi kalo kamu ketemu, pasti Prita bisa nyembunyiin semua perasaannya. Nggak bakalan keliatan kalo dia itu lagi banyak pikiran," ujar Lola.
"Ada Andra kan?"
"Nah, untung ada Andra sekarang. Kalo sama kita-kita mungkin Prita masih agak gengsi buat curhat ya. Cuma yang kita liat kayaknya Andra sekarang ngurusin Prita banget," sahut Lola.
"Mungkin momennya pas aja kali. Andra ada di sana, saat Prita bener-bener butuh orang yang mau jadi sandaran."
"Ahhh.. cieeee... akhirnya nggak jomblo lagi tuh si pak bos yang paling susah jatuh cinta," tambah Rio.
"Kamu sendiri, kayaknya tipe yang gampang banget jatuh cinta ya, Yo?" tanya Lola tiba-tiba serius.
"Hah?!?" ditanya begitu, Rio malah jadi gelagepan. Bingung mau jawabnya gimana.
Tapi yaaa.. fotografer sih jarang ada yang nggak suka melihat hal-hal yang indah ya. Wanita kan juga termasuk dalam list keindahan dunia. Bener nggak?
"Kalo Andra sih parah, La... Dia itu udah ngejomblo, ada kali 6 tahunan. Itu kakeknya bolak balik nyariin jodoh buat dia, semua ditolak! Ada aja alasannya," Rio kok jadi rumpi kayak Theo ya. hehehe...
"Kamu mau pesen apa? Nanti keburu masuk angin lho, nggak makan, makan," tanya Rio mengalihkan topik pembicaraan.
Rio itu orangnya rame... Lola juga rame... Mereka berdua sih cocok banget. Tapi pasti hubungan mereka itu jauh banget dari hal-hal yang berbau romantis.
"Eh, udah lama nggak ketemu Devan deh. Apa kabarnya temen kamu yang satu itu?" tanya Lola.
"Jadi kangennya sama Devan nih? Bukan sama aku?" canda Rio yang sebenernya agak cemburu juga sih Lola nanyain kabar Devan.
"Kalo sama kamu kan kita sering chat, sering telpon juga. Ini juga ketemu. Masa mau dikangenin terus?" sahut Lola sambil manyun.
Rio paling nggak kuat kalo udah liat Lola manyun. Tangannya langsung jail, ngusek-ngusek rambut kriwilnya Lola.
"Yoooo... jangan... nanti rambut aku tambah kusuuuut," yang dikusel-kusel malah tambah manyun.
***
Rumah Tebet
Prita dan Andra baru sampai rumah Tebet sekitar jam 10 malam.
"Capek banget ya, Ta?" tanya Andra sambil merangkul pinggang Prita.
"Ho'oh," sahut Prita menyandarkan kepala di dada Andra.
"Makasih, Mbok.. langsung istirahat aja, Mbok. Nanti biar aku yang kunci pintunya,"
"Siap, Non. Ibu nggak ikut pulang, Non?" tanya Mbok Minah.
"Nggak, Mbok. Masih mau nemenin papa katanya,"
Mbok Minah langsung pamit menuju paviliun belakang untuk beristirahat.
"Kamu nggak takut di rumah sendirian?" tanya Andra.
"Udah biasa. Lagian kan ada yang lain di rumah belakang. Takut apa? Emang kamu mau nemenin?" balas Prita.
"Mau!" sahut Andra semangat.
"Mas-mas Nakal...," gumam Prita yang masih terdengar di kuping Andra.
Prita yang baru aja ngambil botol jus di kulkas langsung ditangkap Andra. "Siapa yang nakal?" bisik Andra tepat di telinga Prita.
"Mas-nya," sahut Prita juga ikutan berbisik.
Sontak lengan Andra langsung menarik pinggang Prita sampe mereka nggak lagi berjarak. Bibir Andra memagut bibir manis Prita yang sudah dari tadi mencuri perhatiannya.
"Ini yang namanya Mas-mas nakal," goda Andra setelah melepaskan pagutannya.
Mereka berdua melangkah ke taman belakang. Menikmatinya sunyinya malam di bawah langit cerah malam ini.
"Jadi kamu nanti pegang kantor Papamu juga?"
"Mau nggak mau, kayaknya harus deh. Kayaknya Papa belum akan pulih dalam waktu singkat. Jadi paling nggak aku ambil alih di sana. Tapi, aku juga nggak yakin bisa juga, An. Kayak yang kamu bilang, aku ini bocil. Untuk pegang perusahaan sebesar itu butuh jam terbang tinggi," Prita ragu karena jujur ia tidak banyak mengerti tentang perusahaan keluarganya itu.
"Pasti bisa. You're doing well with your own, Ta," Andra memberikan semangat.
"Beda bidangnya dong, An. Ini yang kita omongin bukan perusahaan main-main kayak Blast Image yang ukurannya masih bocil itu," sahut Prita.
"Hmmm... kamu mau aku bantu?"
"Beneran? Kamu mau?"
"Ya mungkin nggak sepenuhnya bantu ya. Tapi aku siap kapan aja kamu butuh masukan... ya anggap aja aku jadi konsultan deh," tawar Andra.
"Mahal nih pasti honornya, konsultan kok dari CEO," Prita ngakak sendiri dengan penawaran Andra.
"Buat Ibu Prita Daneshwara, honor konsultan dibayar CINTA. Deal?"
Prita tersenyum, menghampiri Andra lalu duduk di pangkuan cowok yang tampannya nggak abis-abis ini.
"Are you sure, Pak Andra Diningrat?" ucap Prita dengan nada menggoda.
"Baby, you are teasing me..." Andra menangkup wajah mungil Prita, menggigit bibir bawah Prita lalu menyesapnya.
"Hmmppfff," satu desahan lolos dari bibir Prita. Membuat Andra semakin gemas dan mendekap erat Prita.
"Thank you, Love," ungkap Prita sambil membingkai wajah tampan Andra yang hanya berjarak beberapa senti saja dari wajahnya.
"Love?" mata Andra seketika terbelalak.
"I think I'm fallin' for you, boleh?" bisik Prita.
"Boleh... boleh banget, Love, Sayang, Cinta, Honey, borong semua," lirih Andra dengan tatapan hangat yang hanya fokus pada manik indah mata Prita.
Malam itu, suasana begitu hangat. Kedekatan Prita dan Andra semakin erat. Entah kenapa, berada di samping Andra, Prita bisa merasa nyaman dan aman.
***
Pison - Senopati
"Hai, Oom.. Makasih ya udah nyempetin waktu ketemu pagi ini," Prita menemui Oom Heru, pengacara keluarga Daneshwara dan juga pengacara untuk perusahaan Pria.
"Prita, turut prihatin buat Papa ya,"
"Makasih, Oom," seraya menyerahkan buku menu ke Oom Heru, mempersilahkan untuk pesan makanan dan minuman.
"One Americano, please," Oom Heru menambahkan pesanan Hazelnut Latte Prita.
"Jadi, gimana... gimana," tanya Oom Heru.
Prita memulai dengan saran Erina yang menerima pertanyaan dari Dewan Direksi.
"Ya, sebaiknya sih memang Pak Pria digantikan oleh keluarga. Kalau Bu Shinta tidak bisa, ya kamu aja, Prita," saran Oom Heru.
"Ehm... hanya yang perlu saya sampaikan di sini, Pak Pria akan mewariskan perusahaan ini untuk kamu. Kalaupun nanti kamu tidak pegang perusahaan ini, maka akan jatuh ke tangan Jihan,"
"Whaaaatttt???!!! Jihan? Jihan anak istri simpanan itu?" emosi Prita seketika memuncak.
Gimana nggak? Kok bisa, papanya udah siap-siap mewariskan perusahaan besar yang dirintis dari nol ke anaknya dengan Naira.
"Nggak... nggak bisa! Mereka nggak akan pernah memiliki hak apapun atas milik kami. Mereka kan cuma nikah siri, Oom. Secara hukum, itu tidak kuat untuk membuat mereka sah sebagai ahli waris kan?" tanya Prita dengan nada yang sedikit tertahan karena emosi.
***
Kantor Blast Image
"Mas, gue perlu ngobrol, bisa?" Kepala Prita menyembul dari pintu kaca yang terbuka.
"Silahkan," ucap Erwin mempersilahkan Prita duduk di sofa. Sepertinya yang akan dibicarakan kali ini serius.
"Ada trouble kah?" tanya Erwin.
"Gini, Mas. Papa kan masih butuh waktu untuk bisa pulih 100%. Sementara di Boga Mentari nggak ada yang tangani langsung nih. Rencananya, gue akan terjun langsung pegang sementara untuk gantiin Papa," ungkap Prita.
"Trus di sini gimana?"
"Nggak sepenuhnya ke sana sih, Mas. Fifty-fifty lah. Tapi di sini, gue akan minta Nadine buat sementara handle klien yang biasanya langsung ke gue nih. Nanti gue akan koordinasi lebih lanjut sama Nadine. Is it ok?"
Erwin keliatan agak mikir soal ini. Karena sebelumnya ini nggak terpikirkan olehnya. Dia bener-bener lupa kalau Prita juga masih punya tanggung jawab untuk meneruskan usaha keluarga.
"Untuk saat ini, you got to do what you have to, Prit. Aku nggak bisa bilang apa-apa selain mendukung, membantu kamu untuk keputusan ini,"
"Mudah-mudahan Oom Pria lekas pulih kembali ya, Prit," harap Erwin.
"Thanks, Mas. Okeh, gue mulai koordinasi deh sama Nadine. Karena gue bener-bener harus cepet mulai ke sana, Mas," Prita khawatir nanti Naira dan anaknya akan masuk lebih dalam ke keluarga yang seharusnya mereka tidak ada di dalam situ. Hanya ada dirinya, Mama Shinta dan Papa Pria.
Post a Comment