[Novel] GCCEO - 09 - Empat Tahun Pernikahan
"Prit, boleh aku temenin kamu?" ucap Andra, menjauhkan sedikit tubuh Prita dan menatapnya dalam.
Prita menjawabnya dengan anggukan. Anak rambutnya yang menjulur ke wajahnya, disisipkan ke kuping oleh tangan pria tampan di hadapannya.
***
Ruang Tunggu
"Keluarga Bapak Prio?" seorang dokter keluar dari ruang ICU.
Shinta langsung beranjak dari kursi, tempatnya melantunkan doa-doa harapan agar sang suami berangsur pulih.
Wanita di hadapannya, yang ternyata bernama Naira juga ikut beranjak. Sementara putri kecilnya tertidur di kursi, kelelahan menunggu ayahnya yang sedang ditangani di ruang tindakan ICU.
Lola melihat pergerakan itu dan melirik Naira dengan sinis. Membuat Naira mengurungkan niat untuk mendekat ke arah dokter.
"Saya istrinya, dok," sahut Shinta.
"Bagaimana keadaan suami saya?"
"Puji syukur, suami Ibu sudah melewati masa kritis. Namun karena kondisinya yang masih belum stabil, kami belum bisa memindahkan Bapak ke ruang rawat inap biasa. Tekanan darah Bapak masih tinggi jadi kami masih melakukan observasi untuk menurunkan tekanan darah tersebut,"
Ada lega terlihat dari raut wajah Shinta. Lola yang menggandeng tangan Shinta seraya merangkul pundaknya pun merasakan hal yang sama.
"Boleh saya ketemu suami saya, Dok?" tanya Shinta.
"Untuk saat ini, karena Bapak masih dalam penanganan khusus, jadi hanya bisa ditemui melalui kaca pemisah ruangan saja ya, Bu. Itupun bergantian. Satu per satu," pesan dokter.
Shinta pun langsung masuk, sementara di kejauhan Naira terlihat cemas.
Ketika dokter melangkah menuju Nurse Station, Naira baru kemudian menghampiri dan menanyakan keadaan suaminya.
"Dok, tolong saya dijelaskan keadaan Bapak Prio," pintanya.
"Maaf, apakah Mbak ini putri Pak Prio? Semua sudah saya jelaskan secara detail kepada ibu. Silahkan mbak tanyakan dengan Ibu," tegasnya.
Naira menghela napas panjang. Ia bingung bagaimana caranya agar bisa mendapatkan informasi mengenai sang suami. Belum lagi jika nanti Jihan, putri kecilnya terbangun dan menanyakan kabar papanya.
Ia termenung di depan ruang tunggu.
Prita datang dengan kursi roda yang didorong Andra. Melihat sekilas ke arah Naira lalu melewatinya.
"Lol... kemana Mama?" tanya Prita.
"Tante Shinta lagi masuk ketemu Oom. Gantian ya, Prit. Dokter bilang tadi Oom Pria sudah bisa melewati masa kritisnya. Cuma karena kondisinya belum stabil, jadi masih harus dirawat di ICU," jelas Lola.
Naira mencuri dengan pembicaraan Lola. Ia sedikit lega bisa mengetahui keadaan Pria, meski tidak terlalu jelas dan detail. Tapi paling tidak sedikit tau.
Ia kembali masuk dan duduk di ruang tunggu. Mengusap kepala mungil Jihan.
"Andra, aku mau ke ruang tunggu," pinta Prita sambil beranjak dari kursi roda.
"Prit," Andra langsung memapah Prita yang terlihat tergesa memasuki ruang tunggu.
Lola juga terkejut dan memandang sahabatnya itu.
"Siapa kamu sebenarnya?" hardik Prita dengan suara penuh penekanan kepada Naira yang duduk memangku Jihan.
Naira tersentak dan mendongakkan kepala, menatap Prita yang berdiri di seberangnya, terhalang coffee table.
"Apa benar kamu istri Pria?" Hati Prita begitu sakit, hingga menyebut Pria tanpa panggilan 'papa'.
Naira menjulurkan tangan, "Saya Naira, kamu Prita kan?".
Prita enggan menerima uluran tangan Naira. Ia malah membuang muka dan duduk di sofa. Membuat Naira kemudian juga ikut duduk di sofanya.
Andra membantu Prita duduk. Seakan membutuhkan kekuatan untuk melampiaskan amarahnya, Prita meraih tangan Andra dan menggenggamnya erat. Andra pun ikut duduk di sebelah Prita.
"Sudah berapa lama kalian menikah?" tanya Prita datar.
"Empat tahun," jawab Naira pelan.
"Anakmu itu, anak siapa?"
"Anak papamu, namanya Jihan,"
Mata Prita mulai memerah, basah, membuatnya menongak menahan agar air tidak jatuh membasahi pipinya. Tangannya meremas tangan Andra.
"Maafkan kami, Prita. Kami khilaf. Kami melakukan kesalahan besar," aku Naira.
Dada Prita sesak. Membayangkan papanya dengan wanita lain yang bukan mamanya. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya, papa bisa berpaling.
"Kedatangan saya menemui papamu, sebenarnya bermaksud untuk mengakhiri semuanya. Saya sudah siap pergi meninggalkan Jakarta dan tinggal jauh dari papamu. Saya sudah tidak tahan dengan keadaan ini," isak Naira.
Flashback
"Ma, Papa ada pertemuan nanti malam dengan klien dari Singapur. Makan malam di Dharmawangsa. Mama nggak papa kan, papa tinggal malam ini?" tanya Pria ketika Shinta sedang berkutat di dapur, menyiapkan makan malam.
"Lho, Pa. Mama masak makan malam lho. Trus siapa yang makan nanti ini semua?" balas Shinta.
"Nggak mau undang aja tamunya makan di sini?"
"Papa udah booking tempatnya, Ma. Tamunya juga udah lagi otw ke sana,"
"Ya sudah, Mama simpan untuk besok siang aja ya. Sekalian ajak Prita pulang, biar makan bersama," sahut Mama.
Pria lalu mengecup kening sang istri dan beranjak pergi.
"Kok tumben, papa nyetir sendiri," batin Shinta.
Lima belas menit setelah Pria berangkat dan Shinta selesai membereskan dapur, dibantu dengan Mbok Minah, ia pun mendaratkan tubuh di sofa ruang keluarga, menyetel drama Korea yang sedang ditontonnya.
Ia melihat handphone Pria tergeletak di coffee table dan tidak sengaja membaca notifikasi yang muncul di layar.
Naira - HRD
Pa, Kita sudah sampai di Madera Kitchen. Jihan sudah nggak sabar nih, dari tadi tanyain papanya terus.
Seketika jantung Shinta seperti jatuh dari tempatnya. Tubuhnya lemas. Sungguh sakit bukan main.
"Paa..." ujarnya lirih, air mata mulai menggenang di pelupuk mata.
Mbok Minah yang baru saja masuk ke ruang keluarga membawakan camilan melihat Shinta terduduk lemas di sofa.
"Bu... Ibu sakit?"
"Mbok, panggil Pak Roni. Tolong siapkan mobil dan antar saya ke Dharmawangsa," pinta Shinta.
"Ibu mau kemana malam-malam? Ke rumah sakit? Biar saya telpon Bapak dulu, Bu,"
"Nggak usah. Bapak nggak bawa handphone," sambil menunjuk ke arah meja.
"Kalo gitu telpon Mbak Prita aja ya," sambungnya.
"Nggak usah, Mbok.. panggilkan Pak Roni aja," titah Shinta.
Shinta mencoba membuka layar gawai sang suami. Untungnya ia ingat pernah membuka sandi dengan tanggal lahir Prita.
"Mereka janjian di Dharmawangsa Square," gumam Shinta setelah membuka ruang chat antara pria dan Naira yang nomornya disimpan sebagai "Naira-HRD".
Shinta pun menyusul ke Dharmawangsa Square. Dalam perjalanan, ia masih berharap ini tidak benar terjadi. Semua hanya salah paham saja.
Berjalan menyusuri semua toko dan resto, matanya kemudian tertuju pada satu meja dimana Pria tengah menyantap makan malam bersama seorang wanita dan anak kecil perempuan di satu resto. Karena tidak yakin akan matanya, ditambah juga resto tempat makan Pria juga berdesain lampu temaram, Shinta pun berjalan menghampiri.
"Pa?" panggil Shinta di belakang sosok lelaki yang tengah bercengkrama mesra dalam sebuah jamuan makan malam.
Pria menoleh, tidak menduga bahwa Shinta mengetahui keberadaannya di resto ini.
Naira juga sama terkejutnya dengan Pria yang langsung berbalik dan berdiri menatap Shinta.
Semua terpaku pada tempatnya masing-masing, tidak ada kalimat yang meluncur dari bibir masing-masing.
Shinta masih tidak percaya apa yang ada di hadapannya.
Hingga ia merasa tidak kuat, kepalanya mulai berat, matanya basah dan tubuhnya lemas.
Yang bisa ia ucapkan, "handphone-mu tertinggal di rumah," seraya menjulurkan tangannya, menyerahkan handphone ke hadapan lelaki yang sudah bersamanya selama 30 tahun.
Pria tergugu, mengambil handphone dari tangan Shinta. Mulutnya baru akan mengucap, tapi Shinta langsung berbalik dan meninggalkan mereka.
"Pa..." ucap Naira bingung.
"Mungkin sudah saatnya kita berterus terang," ucap Pria. Ia pun mengajak Naira dan Jihan ikut ke rumahnya. Bermaksud menjelaskan apa yang sudah terjadi kepada Shinta.
Sesampainya di rumah, Shinta tidak langsung naik ke kamarnya di lantai 2. Ia masih ke dapur untuk mengambil minum dari kulkas. Tenggorokannya kering, setelah kejadian yang membuat dirinya shock.
Mbok Minah yang melihat Pak Roni sudah kembali pun bertanya, "kok cepet ke rumah sakitnya? Nggak antri ya, Pak?"
Roni dan Minah adalah suami istri yang sudah bekerja di rumah keluarga Daneshwara semenjak Prita berusia 2 tahun. Mereka tinggal di bagian belakang rumah besar itu, bersama beberapa pekerja lain.
"Nggak ke rumah sakit kok. Ibu minta diantar ke mall. Tapi ya itu, keluar dari mall, ibu sudah nangis dan buru-buru minta diantar pulang," sahut Roni.
Tidak lama setelah Shinta sampai, Pria dan Naira, serta Jihan sampai.
"Ma... mama," panggil Pria.
"Mama siapa yang kau panggil?" tanya Shinta dengan nada berat.
"Ma, aku jelaskan. Tolong dengarkan dulu..." pinta Pria.
"Jelaskan apa? Jelaskan kalau yang kau bawa ke rumah ini malam ini adalah istri dan anakmu?!!" hardik Shinta. Ia mulai goyah, matanya sudah tidak bisa menahan air mata yang akan meluncur deras.
"Ceraikan aku. Dengan senang hati, aku akan meninggalkan rumah ini. Malam ini juga agar kau dan istrimu bisa segera menempatinya,"
Mbok Minah dan Pak Roni yang mendengar ada suara orang berbincang di dapur pun segera masuk, melihat siapa yang ada di sana.
"Bukan begitu, Ma... tenang dulu. Aku akan jelaskan," paksa Pria.
Tidak mempedulikan penjelasan dari Pria, Shinta pun lantas berjalan menuju kamarnya di lantai 2. Setengah berjalan, Naira menghadangnya, berlulut di hadapannya.
"Maafkan saya, Bu. Saya yang salah. Tidak bisa menjaga diri hingga Pak Pria harus menikahi saya. Kami khilaf dan saya siap meninggalkan Pak Pria, pergi jauh dari Jakarta, agar kami tidak bertemu lagi," isak Naira menangkupkan kepalanya di depan kaki Shinta yang dibalas acuh dengan Shinta meneruskan langkahnya menuju tangga.
Pria yang melihat Naira berlutut bahkan menyembah Shinta pun segera menghampiri.
"Bukan... bukan begitu, Naira. Bukan itu yang kumau," bujuknya.
Shinta berbalik mendengar kalimat Pria, "bukan itu yang kamu mau? Lalu kamu mau apa? Kamu mau kami, istri-istrimu akur dan hidup di bawah satu atap? Begitu?"
"Kukira selama ini kamu Pria yang jujur, bertanggung jawab dan tanpa cela. Ternyata kau tak lebih seperti pria-pria hidung belang di luaran sana. Nggak bisa lihat perempuan lebih muda dan lebih cantik dari istrinya di rumah, lalu bisa sembarangan meniduri dan memiliki anak di mana-mana. Sudah berapa wanita yang kau tiduri?!!" bentak Shinta.
"Ma...." Pria bangun dari jongkok, sambil memegang dada kanannya. Tak lama, ia pun jatuh tersungkur dan tidak sadarkan diri.
Post a Comment