[Novel] GCCEO - 10 - Temenin Mama

"Andra, tolong bawa aku pergi dari sini," pinta Prita lirih.

Dengan segera, Andra langsung menggendong Prita ala bridal dan membawanya keluar ruang tunggu yang saat itu terasa sempit dan menyesakkan.

Rio menyambut mereka, mendorong kursi roda Prita dan menyodorkan kepada Andra.

Lola yang sedang menelpon Theo pun kaget, Prita terkulai lemas dalam gendongan Andra.


"Sumpah, Teeeeh, gue nggak tega banget liat Prita. Kalo loe udah anterin nyokap loe pulang, ke sini deh. Dia butuh kita. Eh... eh, Teeh.. nanti gue telpon lagi ya... Prita keluar tuh. Priiittt... Priiittt," Lola langsung menutup sambungan telponnya. Membuat Theo terburu-buru mengambil kunci lalu pamit kepada mamanya dan bergegas menuju rumah sakit.

Rio menahan langkah Lola yang ingin mengejar Prita dan Andra.

"Biarin dulu... Prita mungkin butuh udara segar. Dia udah pilih Andra untuk nemenin. Loe percaya sama Andra kan?" tanya Rio.

Lola Mengangguk. Beneran deh mukanya Lola juga udah keliatan capek banget. Udah hampir tengah malam, dengan kejadian yang bikin semua shock. Pengen rasanya Lola ikut menjerit.

Dia nggak pernah liat Prita serapuh ini.

Yang selalu dilihat orang, Prita sosok wanita pintar yang percaya diri, kuat, tangguh. Ah, bisa dibilang Prita itu sosok wanita yang banyak dipuja deh.

"Aku nggak pernah liat Prita serapuh itu, Yo. Selama aku kenal dia, Prita bukan seperti yang kita liat tadi," lirih Lola.

"Kamu juga capek, Lola. Mau pulang? Biar Andra yang di sini. Aku antar kamu pulang ya?" tawar Rio.

"Tunggu Theo ya, biar Theo gantian ada di sini,"

Sementara itu Andra membawa Prita ke taman rumah sakit. Memangku sambil memeluk gadis mungil yang masih sesegukan.

"Keluarin semuanya, Prit. Biar lega," Andra merasakan pelukan Prita melemah. Gantian Andra yang mendekapnya, memberikan dadanya untuk dijadikan ember air mata Prita.

Setengah jam Prita larut dalam tangisnya. Andra dengan sabar menunggu sambil terus mengelus punggung Prita.

Theo datang menghampiri dengan secangkir teh hangat di tangannya.

"Ndra..." sapa Theo.

Andra sedikit mengangguk, memberi kode kepada Theo untuk mendekat.

"Tante Shinta gimana?" tanya Andra.

"Tante Shinta nunggu di lobby," ujar Theo yang ikut mengelus kepala Prita.

"Prit, Tante Shinta mau pulang. Loe ikut kan?" tanya Theo halus.

Prita mengangguk lalu melepaskan Andra.

"An, maaf ya. Baju kamu basah," ucap Prita dengan suara serak.

"It's ok, Ta. Aku anter yuk," tawar Andra. Prita lalu bangkit dan berdiri, meski badannya masih lemah, dia mencoba untuk berjalan tegak.

"Nggak papa, An. Kamu pulang aja, pasti kamu capek. Makasih banget ya," Andra menggandeng Prita menuju lobby dengan Theo yang berjalan juga di sisi Prita, mengelus punggungnya, mentrasfer kekuatan untuk sahabatnya.

"Teh, makasih," seguk Prita.

"Prit, kita semua sayang elo," ujar Theo yang kemudian dipeluk Prita dan kembali menangis.

"Please, Prit... sakitnya sampe ke gue...," Theo juga ikutan nangis.

Beruntung banget Prita punya sahabat yang sayang banget. "Makasih, Teh," sahut Prita lirik, menghapus air mata di pipinya dan lanjut jalan ke lobby menemui Mama Shinta.

"Ma..." Prita pun berpelukan erat dengan Mama Shinta.

"Kita pulang, Ma..." mereka berdua berjalan lunglai menuju Velfire putih yang sudah menunggu di lobby.

Andra dan Theo pun pamit.

***

Malam itu Mama Shinta tidur di kamar Prita. Mereka berdua berpelukan dalam tangis hingga lelah dan tertidur hingga pagi.

"Ma, bangun yuk. Kita sarapan dulu," ajak Prita.

Sepanjang yang Prita tau, nggak pernah yang namanya Mama Shinta itu bangun ketika matahari sudah tinggi. Mama yang ia kenal, selalu bangun paling pagi dari semua dan menyiapkan segala keperluan untuknya, untuk papa.

Mbok Minah pagi ini sudah menyiapkan nasi goreng plus telur ceplok favorit Prita. Menu yang selalu diminta kalau Prita pulang ke rumah.




Mama Shinta sudah rapih seperti biasa, walaupun tidak kemana-mana. Yang berbeda, pagi itu raut wajah Mama Shinta sangat lelah dengan kantong mata kehitaman dan tatapan sendu.

"Prit, makan dulu yuk. Mama suapin ya," tawar Mama yang mencoba terlihat tegar, padahal Prita tau hatinya hancur, sehancur hati Prita saat ini.

Prita tampak lahap disuapin Mama Shinta.

Lola dan Theo masuk langsung menuju pantry.

"Pagi, Tante... Prit," sapa mereka berdua yang datang dengan banyak kantongan di tangannya.

"Bawa apa, Lol.. berisik banget itu plastiknya," tanya Prita.

"Gue bawa kue rangi, pancong, kue lekker. Kesukaan loe semua nih, Prit," ujar Lola sambil menunjukkan kantongan di tangannya.

"Tadi kita mampir ke Mayestik, sarapan sekalian beli ini nih, jajanan favorit," tambah Theo yang disambut dengan sedikit senyum di bibir Prita.

"Loe boleh sedih, Prit... tapi perut nggak boleh kosong," canda Lola.

Mama Shinta menghampiri dua anak ini lalu memeluknya.

"Terima kasih ya, Theo dan Lola. Kalian udah ada untuk kita," ujar Shinta.

"Tante, kita semua sayang Tante dan Prita. Jadi kita temenin biar Tante dan Prita lupain semuanya... lupain siapa aja yang bikin kesel," jawab Theo yang langsung ditoyor Lola.

"Tapi yang bikin kesel itu bokap gue, Teh," lirih Prita yang mulai melamun lagi.

"Priiiiit..." panggil Lola.

Mbok Minah langsung merapihkan jajanan yang dibawa Lola dan Theo ke piring-piring saji dan menyajikannya di meja pantry.

"Yuk, ikut sarapan sini," tawar Mama Shinta.

"Mbok, tolong tambahin piring dan gelasnya ya. Sekalian jus dan susu," titah Mama Shinta.

"Nggak papa, Tante.. kita bisa ambil sendiri kok," sahut Lola yang diiyakan Mama Shinta.

Telpon Theo berdering, tangannya lalu sibuk merogoh kantong sementara kue pancong yang tadi dipegang langsung dimasukin ke dalam mulutnya.

"Eh, Andra telpon nih," Theo melihat nama Andra di layar gawainya.

Ia pun langsung mengangkat sambungan telpon Andra. Berbicara sebentar lalu bertanya, "Prit, Andra mau ke sini, gue share loc boleh ya?"

Prita mengangguk.

"Prit, semalem Andra yang bener-bener nemenin loe di rumah sakit ya. Gue denger ceritanya dari Theo," tanya Lola.

"Thanks God, semalam ada dia, Lol. Nggak tau kenapa, gue ngerasa butuh dan nyaman aja kalo ada dia di deket gue semalem,"

"Andra baik ya, Prit," sahut Mama Shinta

"Kayaknya dia ada hati deh sama loe, Prit," tebak Theo.

"Kalian baru kenalan?" tanya Mama Shinta.

"Baru, Ma. Ketemu di konser Coldplay di Singapur kemaren," jawab Prita.

"Ooh... "

"Prit, hari ini Mama ke rumah sakit lagi ya," ijin Mama Shinta.

Pertanyaan itu langsung membuat Prita tersentak, menatap mamanya, "Mama mau ngapain sih ke rumah sakit. Udah ada yang jagain di sana, Ma. Mama di sini aja sama Prita,"

Lola dan Theo segera menyingkir ke taman belakang, mereka nggak enak berada di tengah percakapan yang bukan ranahnya.

"Tapi dia papa kamu, Prit. Kamu nggak kasihan sekarang papa terbaring nggak sadar gitu di ICU?"

"Nggak!" jawab Prita tegas. Mendengar itu, Shinta menitikkan air mata lagi.

"Ma... Prita nggak mau Mama ketemu Papa lagi. Dia udah kecewain Mama, kecewain aku juga, Ma. Yang Papa lakuin ke kita itu dosa besar. Selama perempuan itu masih berstatus istrinya, jangan pernah Mama terima Papa di sini," tukas Prita memeluk Mama Shinta.

"Mulai hari ini, Prita tinggal di sini. Jagain Mama," sambungnya.

Mama Shinta memilih diam, ia tau tabiat Prita yang keras. Kalau sudah memutuskan sesuatu, susah banget buat dibujuk.

Prita bangkit dari meja pantry, menuju kamarnya dan mengganti pakaiannya dengan bikini merah. Ia lalu menghampiri dua sahabatnya di halaman belakang, sekalian mau berenang biar segar sekalian pikirannya.

"Guys, nanti temenin gue ke apartemen ya.. bantuin gue bawain barang-barang. Gue mau tinggal di sini, nemenin Mama," pinta Prita sambil berjalan masuk ke kolam renang.

Belum dijawab Theo dan Lola, Andra masuk menyapa, "aku ikut boleh?"

Prita menengok ke arah suara, "Andra..." dan menghambur ke pelukan cowok ganteng itu.

Lola dan Theo melongo. Keduanya berbisik, "Baru kenal kemaren, tapi udah main peluk-peluk aja. Kalah set tuh pangeran Rio loe," goda Theo.

"Fellin' better today?" tanya Andra sambil merapihkan anak rambut Prita, menyisipkan ke belakang kupingnya.

"Emang beda kalo CEO udah bertindak ya.. langsung menusuk ke hati," bisik Lola dengan mimik meleleh, kayak dia aja yang kena busur panah pangeran berkuda putih. Theo cuma bisa ngangguk-ngangguk, speechles kayaknya dia.

Berdua, mereka cekikikan sambil ngunyah kue lekker. Garing... garing deh nih nontonin Prita dan Andra yang mulai berbau romansa.

Dua jam lebih lah kira-kira mereka bercengkrama di taman belakang yang teduh dengan tanaman dan bunga-bunga yang tumbuh subur di tangan Mama Shinta.

Setelah mandi, Prita tampil lebih segar dengan celana pendek denim dan crop top putih. Rambut hitamnya yang tebal dibiarkan tergerai.

"Yuk berangkat," ajaknya begitu menuruni tangga.

Theo padahal udah setengah tidur di sofa besar ruang keluarga. Kayaknya dia kekenyangan deh. Masakan Mama Shinta semalam dipanasin emang untuk makan siang hari ini.

Sementara Andra dan Lola asik ngobrol, ngalor ngidul.

"Ma, Prita pinjem Pak Roni dan mobilnya ya. Nanti biar Pak Roni bawa mobil Prita pulang ke sini," ijin Prita sambil mencium pipi mamanya.

"Eh, nanti kalian mau balik lagi ke sini atau mau langsung pulang sih?" tanya Prita.

"Bebas kok, Prit. Kan elo bosnya," jawab Lola sambil melet.

Theo ngikik. "Loe tuh Lol.. kalo ngomong suka ada benernya," tukas Theo.

"Kamu gimana, An?" tanya Prita dengan wajah penuh harap. Harap-harap Andra mau nemenin dia seharian. Hehehe...

"Ikut kamu aja," jawab Andra.

No comments