[Novel] GCCEO - 14 - Maaf
Naira terlihat sedang melipat selimut dan memasukkannya ke dalam koper yang akan dibawa ke ruang rawat inap.
Pria memang sudah siuman, kondisi tubuhnya sudah stabil, namun stroke membuatnya tidak lagi bisa beraktivitas seperti biasa. Ia perlu menjalankan terapi untuk melatih agar tubuhnya tidak kaku.
Shinta baru saja keluar dari ruang ICU, "Prita, Andra.. sudah lama, Nak?"
"Baru, Ma. Kenapa dia ada di sini?" tanya Prita menunjuk Naira dengan dagunya.
"Tante," Andra menghampiri Shinta lalu mencium tangan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dengan gaya elegan.
"Yuk, kita ketemu dokter dulu. Biar nanti dijelaskan detail keadaan Papa," ajak Shinta.
"Nggak perlu, Ma. Mama bilang aja ke aku gimana-gimananya. Kalau perlu untuk urus-urus kamar rawat inap, nanti aku yang urus," sahut Prita mulai ketus. Dia nggak senang dengan keberadaan Naira di sana.
"Ya sudah kalo gitu, kamu ketemu Papa dulu di dalam ya. Papa tadi cari kamu," ujar Shinta.
Prita pun menurut dan masuk ke ruang ICU. Karena kondisi Pria sudah sadar, satu pengunjung diperbolehkan untuk masuk ke dalam ruangan.
"Priii... taaa..." Pria tampak sulit memanggil Prita karena stroke, membuat sebagian tubuhnya menjadi kaku dan sulit untuk digerakkan.
![]() |
Foto: Pinterest |
"Pa," sahut Prita seraya mendekat ke ranjang. Banyak selang dan peralatan yang menempel di tubuh lelaki yang kini terbaring lemah.
"Maa.. aaf," ucapnya lagi. Kali ini air mata terlihat menetes dari ujung matanya. Terdengar isak yang membuat dadanya bergetar.
Prita pun tidak tahan, ikut meneteskan air mata. Hatinya kalut, lelaki yang ia panggil papa, yang selama ini menurutnya adalah laki-laki paling hebat di dunianya. Kini terbaring lemah, stroke dengan permasalahan yang begitu menyakitkan hati, terkuak ke permukaan.
Jujur, Prita bingung. "Haruskah aku memaafkan kesalahannya dan merangkulnya penuh cinta seperti dulu, atau membencinya dan membuatnya pergi dari kehidupanku, kehidupan mama yang juga pasti sangat tersakiti hatinya." batin Prita.
Tangan Pria bergerak ingin meraih tangan Prita yang memegang erat pagar ranjang. Prita meraihnya, menurunkan pagar ranjang. Ia terduduk di pinggiran ranjang dan mencium takzim tangan yang dulu penuh kehangatan, memeluk dan mengusap tubuh mungil Prita.
Derai air mata tak lagi tertahankan. Prita menangis pilu, mencurahkan segala isi hatinya melalui air mata, tanpa bisa berteriak memaki, melepaskan benci yang ia rasa.
Sungguh sesak dada Prita, ia nggak kuat hingga memutuskan untuk pergi keluar ruangan.
Pria memejamkan matanya yang basah, "putri kecilku pergi meninggalkanku," batinnya sakit.
Sementara Prita berjalan tergesa keluar dari ruang ICU, menekan dadanya yang sesak, menyentak pintu yang membuat Mama Shinta dan Andra yang berada di ruang tunggu kaget.
Satu langkah dari pintu berwarna oranye, tubuh Prita melemah, ia terduduk di lantai, bersandar pada dinding dan menangis pilu.
Andra langsung menghampiri Prita, "Baby....".
Sementara Shinta langsung masuk ke ruang ICU, melihat keadaan sang suami.
Naira mengekor di belakangnya, tetapi tidak mendapatkan ijin hingga ia terpaku di depan pintu.
Sadar akan keberadaan Naira di dekatnya, Prita pun mendongakkan kepala, "Kamu! Pergi kamu dari sini!! Jangan pernah ada di pandangan saya!! Pergi!"
Badan Prita bergetar hebat, terlihat lemah tetapi ngotot untuk berdiri dan mengusir Naira.
Andra lantas memeluk dan menenangkan Prita.
"Baby, please... "
"Usir dia dari sini, An. Please... aku nggak mau liat dia ada di sini," lirih Prita dalam dekapan Andra. Tubuhnya meringkuk dengan kepala tertunduk di antara lututnya.
"Usir dia, An... pergi dari sini..." terus menerus Prita mengucapkan kalimat itu.
Andra menoleh ke arah Naira, melepaskan Prita sesaat dan menghampiri Naira.
"Maaf. Tapi kehadiran Anda tidak diinginkan di sini. Tolong jangan buat keadaan menjadi semakin keruh," ujar Andra mengusir halus Naira untuk segera meninggalkan rumah sakit.
Air mata Naira mengalir deras. Ia pun segera berjalan pergi, tanpa sepatah katapun terucap dari bibirnya.
"Mas, aku akan kembali.. sehatlah, Jihan juga menantimu," batin Naira.
***
Dua Hari Kemudian
Sudah dua hari ini Shinta menginap di rumah sakit untuk menemani sang suami.
Sore ini Prita datang bersama Andra, menjenguk dan membawakan Shinta makanan.
Mereka makan malam bersama di kamar VIP rumah sakit.
"Ma, besok gantian sama Mbok Minah aja. Mama pulang dulu, istirahat di rumah. Prita takut Mama juga sakit nanti," pinta Prita.
"Nggak papa, Prit. Mama di sini aja. Kasian papa, setiap makan harus disuapin. Nanti Papa nggak bisa makan kalo nggak disuapin," jelas Shinta.
Tok Tok Tok...
Seorang wanita masuk ke ruang rawat, menyapa Shinta.
"Malam, Bu..."
"Erina, sini masuk. Ikut makan yuk," ajak Shinta ke Erina, sekretaris Pria yang sudah bekerja 10 tahun.
"Terima kasih, Bu... silahkan. Ini saya juga bawa buah dan kue-kue untuk Ibu dan Mbak Prita," Erina menganggukkan kepalanya ketika bertatapan dengan Prita.
"Ayo, Mbak.. dari kantor kan. Pasti capek ya," sambut Prita.
"Kenalkan, ini Andra,"
"Ini Pak Andra Diningrat, cucunya Bapak Bima?" tanya Erina.
"Betul, Mbak," sahut Andra hormat.
"Kok tau, Mbak? Papa pernah ketemu atau gimana?" tanya Prita.
"Ehm... sebenernya saya ke sini juga ingin membicarakan urusan kantor, Mbak," ujar Erina.
"Karena Bapak sudah beberapa hari ini sakit, perusahaan agak sedikit kurang tertangani," lanjutnya.
Pria Daneshwara merintis bisnisnya sejak lama di bidang Food & Beverages. Beberapa produk miliknya bahkan dipasok ke hypermarket yang tergabung dalam grup DCI. Hingga beberapa kali, Pria bertemu dengan Bima Diningrat untuk penandatangan kerjasama atau sekadar silaturahmi dengan mengobrol ringan di lounge atau bermain golf di waktu senggang.
Hanya saja karena 'pemain lama' Pria belum bertemu dengan Andra sebagai penerus DCI. Selama ini bisnisnya dijalankan dengan bertemu langsung Bima, kakek Andra.
"Beberapa produk kita dipasok ke hypermarket grup DCI. Bapak selama ini berhubungan dengan Bapak Bima untuk kerjasama ini," jelas Erina.
"Ooh," sahut Prita dan Andra bareng hingga mereka saling bertatapan.
"Lalu dalam waktu 3 hari ini, Dewan Direksi mempertanyakan perihal keadaan Bapak, Mbak. Maka dari itu, saya ke sini untuk berbicara dengan Ibu, sekalian juga ternyata ketemu Mbak Prita. Karena Dewan Direksi minta penunjukkan pengganti Bapak selama kondisi Bapak sedang tidak memungkinkan untuk menjalankan perusahaan," terang Erina kemudian.
"Ooo.. gitu ya. Hmm.. saya perlu bicara lebih lanjut juga dengan Mama soal ini, Mbak. Tapi secepatnya nanti saya kabarin ke Mbak Erina ya. Karena Mama juga sepertinya tidak mungkin untuk pegang perusahaan, ada saran nggak Mbak.. siapa yang bisa dititahkan kedudukan Papa sementara?" tanya Prita.
"Sebaiknya sih keluarga Mbak. Karena ini kan perusahaan keluarga, jadi lebih enak kalau Ibu atau Mbak Prita yang gantiin Bapak. Atau Mbak mau saya bikinin janji dengan Pak Heru dulu?" tanya Erina.
Pak Heru adalah pengacara pribadi dan perusahaan Papa yang sudah pasti pegang semua legalitas perusahaan.
"Oiya. Nanti saya coba hubungi Oom Heru juga deh. Maaf ya, Mbak... kita semua nggak kepikiran urusan ini karena fokus ke kesehatan Papa," ujar Prita.
"Nggak papa, Mbak. Saya juga prihatin atas kondisi Bapak. Maaf juga jadi nambah-nambahin pikiran Ibu dan Mbak Prita," sahut Erina.
"Mudah-mudahan Bapak bisa segera sehat dan kembali beraktivitas ya, Mbak. Bapak orang baik, aktif juga. Pasti yang kenal Bapak juga prihatin akan keadaan Bapak sekarang,"
"Kalau gitu, saya permisi pulang ya, Bu, Mbak, Mas.. sudah malam. Ibu dan Mbak Prita juga perlu istirahat. Makan malamnya jadi terganggu deh nih," pamit Erina.
"Nggak papa, Erina. Terima kasih sudah jenguk Bapak ya. Mohon doanya dari teman-teman juga di kantor," sahut Shinta.
Post a Comment